Makna Nama Strada

Berbicara tentang “sejarah” Perkumpulan Strada mesti dimulai dari titik awal ‘peristiwa’ yang menyejarah dan terus mewarnai peziarahan Perkumpulan Strada. Titik awal peristiwa itu berkenaan langsung dengan seorang tokoh, yakni Santo Ignatius Loyola (pendiri Serikat Yesus). Santo bersama teman-temannya sering mengunjungi suatu kapel kecil yang terkenal karena suatu lukisan Santa Maria yang menggendong Putra-Nya. Oleh rakyat di Roma lukisan itu dihormati sebagai Maria della Strada, yang berarti ‘Maria penuntun jalan,’ atau juga disebut ‘Dipamarga’ atau ‘Marganingsih.’ Nama yang bermakna, karena oleh keteladanan dan restu Bunda Maria kehidupan umat beriman dituntun kepada Yesus – melalui Maria sampailah kepada Yesus : Per Mariam ad Iesu.

Santo Ignatius Loyola sangat menyayangi lukisan ’Madonna’ itu dan sering mempersembahkan Misa di kapel itu. Pada tahun 1542 kapel itu diberikan kepada Serikat Yesus oleh Paus Paulus III sebagai Gereja Yesuit yang pertama. Ketika kapel itu menjadi terlalu kecil, kemudian pada tahun 1575 diganti dengan Gereja Nama Kudus Yesus yang megah dengan lukisan Santa Maria della Strada yang mendapat tempat kehormatan di gereja induk Serikat Yesus itu. Santa Maria della Strada adalah penuntun jalan hidup  karena melalui Santa Maria, kita semua sampai kepada Yesus. Berkat pertolongan Santa Maria della Strada ini pula peziarahan Perkumpulan Strada terus melaju mengarungi ‘samodra kehidupan’ yang berlangsung tanpa henti sampai sekarang walau tantangan menghadang. Maka ”Strada” dipilih sebagai pelindung karya pendidikan perekolahan di bawah Perkumpulan Strada

Awal Berdirinya  Strada

Pada tahun 1901 Pemerintah Hindia Belanda menerapkan Politik Ethis dengan salah satu tujuan untuk memajukan pendidikan. Sebelum politik tersebut, sesungguhnya di Hindia Belanda sudah ada beberapa lembaga pendidikan. Sejak saat itu di Indonesia bermunculan lembaga pendidikan yang bercorak umum, walaupun wilayah dan jumlahnya masih sangat terbatas.

Vicariat Apostolik Batavia sebagai Gereja lokal sangat merasakan kebutuhan lembaga pendidikan di wilayahnya. Pada waktu itu Pastor Josephus Wilhelmius Maria Wubbe, SJ mengajak dan mendesak kedua rekannya, yakni Pastor Antonius Theodorus van Hoof, SJ dan Pastor Johannes Josephus Hubertus Maria van Ricjkevorsel, SJ untuk mendirikan lembaga pendidikan. Mereka kemudian dikenal sebagai ‘tiga serangkai’ yang sepakat mendirikan Strada Vereeniging (Perkumpulan Strada) yang mereka tetapkan tanggal 24 Mei 1924. Segala upaya yuridis-administratif mereka lakukan dan ajukan kepada pemerintah Hindia Belanda dan pemerintah menyetujui berdirinya Strada Vereeniging di Batavia. Persetujuan ini dicantumkan dalam lembaran Negara nomor 1A dengan pengesahan Statuten van de Strada Vereeniging untuk melakukan pelayanan amal kasih dalam pendidikan dan pengajaran yang diumumkan kepada masyarakat melalui Javasche Caurant Nomor 47 tahun 1924 pada 30 Mei 1924.

Mengapa Perkumpulan Strada memilih Vereeniging (Perkumpulan), bukan Stichting (Yayasan)? Para pendiri awal sudah memikirkan jauh ke depan bahwa ‘perkumpulan’ kedudukannya lebih kuat dalam pemerintahan Hindia Belanda dibandingkan dengan yayasan. Di samping itu, perkumpulan bukan menjadi objek, melainkan subjek atas hak milik tanah dan bangunan, sementara yayasan tidak demikian.

Nama Lembaga Pendidikan

Karya pendidikan yang diselenggarakan oleh Perkumpulan Strada merupakan  partisipasi masyarakat Katolik Keuskupan Agung Jakarta dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa sebagai wujud nyata komitmen dan konsistensinya terhadap implementasi Undang-Undang Dasar 1945. Perkumpulan Strada yang hadir di bumi Nusantara ini sejak 24 Mei 1924 membawa amanat rasuli Gereja yang diterima dari Pendiri Ilahinya, yakni Kristus Sang Guru, “Pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa, Anak, dan Roh Kudus, dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu” (Mat. 28: 19-20). Melalui sabda-Nya ini, kita semakin diyakinkan bahwa karya kerasulan melalui bidang pendidikan merupakan bagian tak terpisahkan dari tugas Gereja untuk mewartakan penyelamatan Allah kepada semua manusia dan memulihkannya di dalam Kristus. Kehadiran Perkumpulan Strada di tengah-tengah masyarakat  sungguh mengembara.

Pada tahun 1924, tanah yang kini terletak di Jl. Gunung Sahari 87 dan 88 dibeli oleh Perkumpulan Strada, namun pada tahun 1926 tanah yang terletak di Jl. Gunung  Sahari  87 dijual kepada Bank (kini Bank BTPN) sehingga tanah milik Perkumpulan Strada kini tinggal yang Jl. Gunung Sahari 88. Gedung kuno tersebut merupakan peninggalan bersejarah dari akhir abad XVIII dan pernah menjadi bagian dari suatu rumah besar yang digunakan oleh Gubernur Jenderal Daendels (1808 – 1810) bila sedang berada di Batavia. Gedung itu lama digunakan sebagai Kantor Strada Pusat.  Pada bulan Juli 2011, gedung tua itu, bersama TK Strada John Berchmans, SD Strada van Lith I, dan SMP Strada Mardin Utama I, dibongkar dan dibangun gedung baru. Dulu di atas atap gedung tersebut ada patung singa Belanda kecil. Pada tahun 1924 rumah besar ini pernah digunakan untuk menampung anak-anak yang diasuh oleh Leon Convict. Pada zaman Jepang, gedung ini dikuasai oleh Jepang, namun berkat kegigihan perjuangan Mgr. P. Willekens, SJ bersama Ibu Manuputty dan Sr. Loyola, OSU dalam mengusahakan perizinan, maka gedung ini “terselamatkan” dari penguasa Jepang yang kemudian digunakan lagi sebagai sekolah.

Awal Kegiatan Pendidikan

Perkumpulan Strada pada awal berdirinya mengurus Europeesche Lagere Scholen (ELS) dan Hollandsch Inlandsche Scholen (HIS) yang menggunakan bahasa dan kurikulum Belanda dengan lama pendidikan 7 tahun. Sekolah pertama yang dibuka oleh Perkumpulan Strada pada tahun 1924 adalah SD Santo Ignatius untuk anak-anak Eropa di Groote Zuiderweg dan HCS (Hollands Chienese School) untuk anak-anak Tiong Hoa di Jl. Gunung Sahari 88 Jakarta Pusat (kini SD Strada Van Lith I) serta SD Strada Kampung Sawah Pondok Gede. Di samping itu, Perkumpulan Strada mendirikan HIS (Hollands Inlandsche School) untuk anak-anak pribumi di lantai bawah Het Fort yang bernama Frederic Hendrick yang berlokasi di tengah Wilhelmina Park yang indah dan luas (kini menjadi mesjid Istiqlal). HIS ini kurang diminati karena letaknya jauh dari pemukiman dan untuk mengatasinya, maka pada tahun 1926 dipindahkan ke Jl. Gunung Sahari. HIS tersebut pada tahun 1930 diberi nama HIS Van Lith.

Tahun 1927 Perkumpulan Strada mendirikan MULO (Meer Uitgebreid voor Lager Onderwijs) Petrus Canisius (setingkat SMP) dan AMS (Algemene Midelbaar School) Petrus Canisius (setingkat SMA) di Jl. Menteng Raya Jakarta Pusat. Pada tahun 1931 nama AMS Petrus Canisius diganti menjadi Canisius College  (kini SMA Kanisius) yang pada 1 Desember 1932 diserahkan oleh Perkumpulan Strada kepada Yayasan Budi Siswa untuk mengelolanya. Tahun 1934, Perkumpulan Strada mendirikan Standard School (sekolah untuk anak-anak pribumi) dan kemudian didirikan pula Volks School dan Vervolg School di Gang Kampung Baru (kini Jl. Tamansari VIII  No. 83A, Jakarta Barat)

Masa-masa sulit Perkumpulan Strada tumbuh dalam pengharapan untuk tetap mencerdaskan bangsa. Tahun 1942 (awal Maret 1942) terjadi pendudukan Jepang atas Batavia. Selama pendudukan Jepang cukup sulit mengembangkan sekolah. Sebelum tahun 1952, Perkumpulan Strada berkantor di Katedral dengan struktur sekolah-sekolah Strada yang disentralisasi. Pada akhir tahun 1952 Kantor Perkumpulan Strada pindah dari Katedral ke suatu gedung bagian belakang Pastoran Gunung Sahari 88 (kini Kantor Strada Pusat Gunung Sahari 88). Gedung Kompleks Strada Gunung Sahari, terutama gedung Kantor Strada Pusat pernah juga dipakai oleh Pemuda Katolik pada masa revolusi (1946 – 1949). Pernah juga dipergunakan sebagai pastoran Jesuit (1949). Mengingat pada tahun 1960 sekolah-sekolah Strada jumlahnya cukup banyak, maka pada tahun 1962 tatakelolanya didesentralisasi dan muncullah beberapa cabang. Pada tahun 1964 gedung Kantor Strada Pusat diperluas menjadi dua lantai. Gedung ini juga pernah digunakan oleh Biro Sosial/Lembaga Daya Dharma, Biro Kateketik, Kantor Dokumentasi/Kasebul dan Kantor Kongregasi Maria (kemudian Yayasan Cipta Loka Caraka yang kini dipimpin oleh Pastor Adolf Heuken SJ berkantor di Jl. Mohamad Yamin  No. 37, Menteng, Jakarta Pusat 10310). Setelah lembaga-lembaga tersebut satu demi satu pindah ke tempat lain, gedung ini sejak tahun 1974 menjadi “markas besar Perkumpulan Strada (Kantor Strada Pusat)”, namun sampai hari ini dari sisi nilai historisnya agak kurang diperhatikan.

Pada tahun 1970 – 1972, Perkumpulan Strada paling banyak mengelola sekolah Katolik di Keuskupan Agung Jakarta, baik secara langsung maupun dengan memberi berbagai bantuan pada sekolah-sekolah milik paroki. Tradisi saling membantu terhadap sesama sekolah Katolik ini sampai sekarang tetap diteruskan untuk mengembangkan solidaritas dan semangat berbagi di antara sekolah-sekolah Katolik. Solidaris dan semangat berbagi ini bertumbuh sejajar dengan Konstitusi Pastoral tentang Gereja di dalam dunia modern “Gaudium et Spes” art. 1: “Suka cita dan harapan, kesedihan dan kecemasan umat manusia pada zaman kita, khususnya mereka yang miskin dan tertindas adalah suka cita dan pengharapan, kesedihan dan kecemasan para murid Kristus juga.”

Demi memantapkan reorganisasi yang dilakukan sejak tahun 1972, maka mulai tahun 1977 penyelenggaraan pendidikan dan persekolahan Strada disentralisasi lagi. Dinamika tatakelola yang semacam ini membuat seluruh unsur pimpinan agak kewalahan : ada sekolah yang ingin tetap menjadi sekolah milik paroki (lebih-lebih  sekolah yang secara finansial kuat) dan ada sekolah-sekolah yang ingin tetap bergabung dengan Perkumpulan Strada. Hal ini berlangsung dalam kurun waktu 1 – 3 tahun. Dengan berbagai pertimbangan, Pater M. Ferouge SJ berusaha membereskan struktur sekolah-sekolah Strada yang disentralisasi pada 1 April 1973. Dengan demikian Perkumpulan Strada memiliki susunan kepengurusan yang lebih lengkap.