Oleh Odemus Bei Witono
Direktur Perkumpulan Strada dan Pemerhati Pendidikan
Kita hidup di tengah era paradoks: kemudahan akses informasi seharusnya meningkatkan kecerdasan kolektif, tetapi justru melahirkan badai hoaks yang secara masif mengancam nalar publik dan integritas sosial. Berita bohong hari ini bukan lagi sekadar bumbu digital, melainkan telah berevolusi menjadi senjata senyap yang mampu merusak fondasi persatuan, memecah belah komunitas, dan bahkan secara efektif memengaruhi hasil-hasil penting dalam demokrasi atau kebijakan publik.
Fenomena disinformasi ini jelas tidak bisa kita biarkan terus berlarut. Hoaks harus dilawan secara sistematis, terstruktur, dan terus-menerus. Namun, peperangan digital ini tidak akan dimenangkan hanya dengan upaya menghentikan atau menghapus konten kebohongan semata.
Kemenangan sejati terletak pada strategi yang lebih proaktif: secara masif dan terencana menyebarkan narasi kebenaran yang valid dan terverifikasi.
Hoaks memiliki keunggulan inheren yang bekerja sangat baik dalam ekosistem dan algoritma media sosial, yaitu kecepatan emosi. Kebohongan dirancang secara spesifik untuk memicu reaksi emosional yang kuat dan instan—kemarahan, ketakutan, atau kegembiraan ekstrem—yang secara otomatis menjadikannya mudah dan cepat untuk dibagikan tanpa pertimbangan. Inilah yang membuat viralisasi hoaks seringkali tak terhindarkan.
Berbanding terbalik, kebenaran sejati—yang kerap kali kompleks, bernuansa, dan mensyaratkan proses verifikasi yang cermat—bergerak dengan kecepatan yang didikte oleh kedalaman nalar dan rasionalitas.
Ketika kita memilih untuk diam dan menunggu klarifikasi, jeda waktu antara kemunculan hoaks dan klarifikasi fakta yang valid akan diisi oleh keraguan, prasangka, dan interpretasi yang bias, sehingga kebohongan sudah telanjur dianggap sebagai fakta.
Oleh karena itu, hanya mengandalkan himbauan untuk memiliki literasi kritis saja kini terasa tidak cukup. Sikap pasif “tidak membagikan hoaks” memang langkah fundamental, tetapi itu hanya menciptakan kekosongan narasi yang siap diisi oleh kebohongan berikutnya.
Strategi kolektif kita harus berevolusi: kita harus berani dan aktif membanjiri ruang digital dengan narasi yang jujur, terverifikasi, dan kuat, sebuah konsep yang harus kita sebut sebagai aksi afirmatif informasi.
Melawan hoaks pada dasarnya adalah upaya kolektif untuk merebut kembali narasi publik yang telah dibajak. Untuk mencapai tujuan ini, tiga pilar utama harus kita tegakkan dan implementasikan secara konsisten:
Pertama adalah Memberi Otoritas pada Sumber Kredibel. Setiap kali kita membaca hasil cek fakta dari lembaga tepercaya, atau menemukan laporan mendalam yang melalui proses jurnalistik ketat, kita wajib membagikannya. Tindakan ini merupakan dukungan nyata dan esensial bagi ekosistem informasi yang sehat. Dengan cara ini, kita membantu algoritma media sosial mengenali dan menaikkan otoritas narasi yang didukung data empiris, bukan semata-mata sensasi.
Pilar kedua adalah Mengemas Kebenaran dengan Daya Pikat. Kita harus segera menolak anggapan lama bahwa fakta dan kebenaran selalu membosankan. Kebenaran harus kita kemas menjadi storytelling yang memikat, visual yang mudah dicerna, atau rangkuman yang ringkas namun memiliki kekuatan argumentatif. Tujuan strategis kita adalah menjadikan validitas dan akuntabilitas sebagai daya tarik utama, sehingga mampu menandingi sensasi palsu dan histeria yang ditawarkan oleh hoaks.
Pilar ketiga adalah Peran Pengguna sebagai ‘Micro-Verificator’. Setiap warga digital harus mengambil peran sebagai simpul verifikasi mini di jejaring sosialnya masing-masing. Jika kita tidak memiliki waktu untuk menulis analisis mendalam, cukup dengan membagikan tautan klarifikasi dari sumber tepercaya kepada lingkaran pertemanan kita. Inilah yang disebut penyebaran yang jujur dan bertahap.
Penguatan narasi kebenaran yang dimulai dari level individu ini akan menciptakan efek riak (ripples effect) yang jauh lebih kuat dan meluas daripada sekadar penindakan de-platforming hoaks yang bersifat top-down. Ini adalah desentralisasi tanggung jawab informasi.
Merebut Kembali Nalar Kolektif
Pertarungan yang kita hadapi melawan hoaks bukan sekadar pertarungan konten, melainkan pertarungan untuk merebut kembali nalar kolektif dari cengkeraman disinformasi. Ini adalah kewajiban etik kita yang paling mendasar sebagai warga negara yang bertanggung jawab, yang menjunjung tinggi akal sehat.
Jika kita memilih untuk pasif dan membiarkan kebohongan berkuasa, pada akhirnya kita mengorbankan rasionalitas publik demi kenyamanan dan ketenangan sesaat. Kita harus mengakui bahwa tidak ada kebenaran yang akan menang dengan sendirinya di tengah hiruk-pikuk dan kebisingan digital.
Kebenaran perlu perjuangan, advokasi, dan yang terpenting, disebarluaskan secara aktif.
Mari kita ubah scroll pasif kita menjadi aksi yang membangun dan berarti bagi masyarakat. Jadikan jari-jari kita sebagai mesin penyebar fakta, bukan penyalur fiktif yang hanya memperpanjang umur kebohongan.
Mulai hari ini, setiap kali Anda menemukan kebenaran yang diverifikasi dan meyakinkan, bagikanlah. Karena inilah cara paling efektif untuk membangun fondasi kepercayaan kuat dan solid di atas puing-puing disinformasi yang merusak.